Memahami Konsep Tetralogi Agama Perspektif Sufi & Argumentasinya

Cetak
Tertralogi Agama Perspektif Sufi

Ada yang bertanya, “Apa dalil dari konsep tetralogi agama kepada Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat? Bukankah tingkatan itu tidak ada di zaman Rasulullah ﷺ?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menganalogikannya kepada pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa tapi dalam bidang keilmuan yang berbeda. Misalnya, “Apa dalil para ahli hadis membagi hadis Nabi ﷺ kepada kategori Shahih, Hasan, Dha’if dan Maudhu’ (palsu)?”. Ataupun pertanyaan, “Apa dalil para ulama fikih membagi hukum taklifi kepada kategori Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah?”. Ataupun pertanyaan, “Apa dalil para ahli akidah -khususnya dari kalangan Salafi/Wahabi- membagi konsep tauhid kepada Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Asma’ wa al-Shifat?”. Serta pertanyaan-pertanyaan lain yang akan panjang jika diuraikan di sini.

Jika ada orang yang mengingkari konsep tetralogi agama yang dirumuskan oleh ulama tasawuf kepada tingkatan Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat, maka harusnya ia juga mengingkari pembagian hadis kepada hadis Shahih, Hasan, Dho’if dan Maudhu’ dalam ilmu Hadis. Begitu juga halnya dengan pembagian hukum kepada kategori Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah dalam ilmu Fikih. Demikian pula dengan pembagian tauhid kepada Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Asma’ wa al-Shifat dalam ilmu akidah perspektif Ibnu Taimiyyah dan lainnya. Mengapa? Karena semua istilah itu belum ada dan bahkan bisa dipastikan tidak ditemukan pada zaman Rasulullah ﷺ. Istilah-istilah tersebut adalah konsep baru yang dirumuskan belakangan oleh para ulama yang fokus dalam bidang-bidang keilmuan tersebut. Itu adalah hasil ijtihad mereka ketika memahami Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ.

Genealogi Tasawuf di Kehidupan Nabi ﷺ dan Para Sahabat

Tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan memang belum ada di zaman Rasulullah ﷺ, tapi genealoginya sudah ada secara praktek. Praktek tasawuf terlihat jelas dicontohkan oleh para sahabat Nabi ﷺ yang tergabung dalam komunitas Ahlus Suffah. Mereka adalah sekelompok sahabat Nabi yang mencoba memfokuskan jiwa dan raganya hanya untuk menyembah dan mengenal Allah SWT semata, dengan Rasulullah ﷺ sebagai mursyid-nya. Ahlus Suffah tidak sekedar beribadah, tetapi juga menggali rahasia-rahasia dibalik ibadah zahir yang mereka lakukan. Mereka mendirikan salat, tetapi juga mendalami makna batin dari salat itu sendiri. Begitu juga mereka tidak hanya berpuasa, berhaji dan berzakat, tetapi juga menggali rahasia Allah SWT di balik itu semua.

Tetralogi Agama Sebagai Ijtihad Para Imam Sufi

Sekarang kita kembali kepada pertanyaan di awal tulisan. Para sufi seperti Syekh Abd al-Qadir Al-Jilani, Syekh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan lainnya membagi tingkatan beragama kepada empat tahapan tersebut sebagai hasil renungan (ijtihad) mereka dalam upaya mengenal Allah SWT. Proses mengenal Allah SWT itu –menurut mereka- melalui empat proses:

  1. Menjalankan bab-bab syariat berupa amaliyah sehari-hari seperti salat, puasa, zakat dan haji.
  2. Mendalami makna ibadah tersebut hingga bisa merasakan kenikmatannya. Di sini seorang muslim memerlukan ilmu Tarekat. Ilmu ini mengajarkan tentang qalbu (hati) dan jalan rohani yang bertujuan mendorong seseorang agar bisa merasakan manisnya ibadah-ibadah tersebut. Pada tahapan ini muncul banyak tarekat sesuai dengan ijtihad rohani para penggagasnya. Di antaranya Tarekat Qadiriyah, Syadziliyyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyyah dan lain-lain. Semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu berjalan menuju Allah SWT, meskipun dengan metodologi dan kurikulum yang berbeda-beda.
  3. Sebagai puncak dari upaya merasakan manisnya ibadah itu adalah sampainya seseorang kepada tingkatan ma’rifatullah dan ma’rifah rasulillah ﷺ. Inilah yang mereka istilahkan juga dengan sebutan Hakikat dan Ma’rifat.

Syekh Abd al-Qadir Al-Jilani berbeda pandangan dengan Syekh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, apakah Ma’rifat yang lebih tinggi ataukah Hakikat. Bagi Syekh Abd al-Qadir al-Jilani, Hakikat adalah maqam tertinggi setelah Ma’rifat. Sementara itu menurut Imam Ibnu ‘Arabi Ma’rifat adalah yang tertinggi. Namun itu semua hanyalah istilah semata yang intinya adalah sama, yaitu sama-sama ingin wushul (sampai) kepada Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana Syekh Abd al-Qadir Al-Jilani mengibaratkan Syariat sebagai bentuk zahirnya agama, Tarekat sebagai batinnya Syariat, Ma’rifat sebagai batinnya Tarekat, dan Hakikat adalah batin atau intisarinya Ma’rifat.

Hadis: Sumber Inspirasi Tetralogi Agama

Tingkatan beragama ini oleh Syekh Abd al-Qadir ‘Isa dalam kitabnya, Haqaiq ‘an al-Tasawwuf, berlandaskan hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh Malaikat Jibril terkait dengan istilah Islam, Iman dan Ihsan. Islam itu adalah bagian zahir Syariat yang dipelajari melalui ilmu fikih. Iman adalah bagian kedua dari agama yang menyasar akal dan pikiran yang dipelajari lewat ilmu akidah, sedangkan Ihsan adalah bagian terakhir dari agama yang menyasar kepada qalbu (hati), fuad, sir dan ruh, yang dipelajari lewat ilmu Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembagian ini punya dasar yang kuat dan tidak pantas untuk dikritisi secara berlebihan apalagi dibatalkan sama sekali.

Sebagai tambahan sebelum tulisan ini kami akhiri, urutan keempat tetralogi di atas oleh mayoritas ulama sufi –khususnya yang mutaakhkhirin– dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Semuanya dianggap sebagai sebuah Syariat yang utuh dalam agama Islam, hanya saja mereka menggolongkan tingkatan Syariat dan Tarekat kepada istilah Syariat Zahir dan tingkatan Hakikat dan Ma’rifat kepada Syariat Batin.

Dengan kata lain, jika konsep ini dikaitkan dengan rumusan Syekh Abd al-Qadir al-Jilani dalam karyanya Sirr al-Asrar maka dapat dikatakan bahwa istilah Syariat adalah wilayah qalib (bagian terluar dari lembaga diri seseorang), istilah Tarekat adalah wilayah qalbu (bagian yang lebih dalam dari qalib), istilah Hakikat adalah wilayah fuad (bagian yang lebih dalam dari qalbu) menuju lubb (bagian yang lebih dalam dari fuad), dan istilah Ma’rifat adalah wilayah sirr (bagian yang lebih dalam dari lubb) menuju ruh (bagian yang lebih dalam dari sirr atau yang disebut juga dengan “hakikat manusia”). Wallahu A’lam.

Share

Sign Up Newsletter

Dapatkan informasi, berita dan konten terbaru RNH hanya untuk Sahabth, di sini

Terkait

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue