Maksiat dalam Ketaatan dan Maksiat di atas Kemaksiatan

Cetak
Maksiat dan Ketaatan

Sebagian orang sering berpikiran bahwa ujian Allah SWT itu hanya berbentuk kesulitan-kesulitan hidup belaka, bencana alam, serta hal-hal negatif lainnya. Sehingga ketika hidupnya sempit, maka ia menganggap bahwa Allah SWT sedang mengujinya. Begitu juga pada saat kampungnya terkena musibah bencana alam misalnya atau anggota keluarganya terjangkit oleh penyakit-penyakit tertentu, maka ia langsung berkesimpulan bahwa Allah SWT sedang mengujinya. Anggapan seperti itu tidaklah keliru, namun juga tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya setiap kondisi dalam kehidupan manusia sejatinya adalah cobaan dan ujian dari Allah SWT. Setiap kondisi itu berpotensi berbuah maksiat dan ketaatan dalam persentase yang sama.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Anbiya: 35 bahwa Dia akan menguji manusia dengan keburukan-keburukan dan juga dengan kebaikan-kebaikan. Sebagaimana halnya miskin adalah ujian, maka kaya pun juga cobaan. Sebagaimana halnya sakit adalah ujian, maka sehatpun juga cobaan. Begitu juga dengan amalan ketaatan merupakan ujian, maka kemaksiatan yang disengaja ataupun tidak disengaja adalah cobaan untuknya. Potensi untuk selamat dari keduanya adalah sama, dengan catatan yang bersangkutan arif dengan pesan-pesan yang Allah SWT selipkan di balik ketaatan dan kemaksiatan yang ia lakukan.

Ketaatan dan Maksiat Adalah Ujian?

Pertanyaannya, bagaimana mungkin ketaatan adalah ujian? Bukankah itu perintah Allah SWT yang sudah seharusnya dilakukan oleh setiap muslim? Ketaatan adalah ujian untuk menilai sikap seorang hamba terhadap amalannya. Jika ia lulus, maka ketaatan itu adalah anugerah untuknya. Sebaliknya, jika ia gagal, maka amalannya itu menjadi musibah yang mencelakakan.

Ketaatan menjadi anugerah manakala seseorang memandang adanya kuasa Allah SWT di balik ketaatan tersebut. Dia menisbatkan kebaikan itu bukan kepada dirinya, tetapi kepada Allah SWT yang telah membantu dan mengizinkannya untuk melakukannya. Apa pengaruhnya? Dia tidak akan pernah memandang bahwa dirinyalah yang beramal, yang berbuat kebaikan, atau yang sanggup untuk melakukan ketaatan. Dengan sikap seperti ini, maka seseorang akan selamat dari sifat ujub dan menganggap diri mampu melakukan kebaikan.

Sebaliknya, ketaatan bisa saja menjadi musibah dan bahkan malapetaka, manakala ia merasa besar dengan ketaatan yang sudah ia lakukan, merasa diri suci, merasa diri lebih baik dari orang lain, dan merasa bahwa ia adalah orang yang paling dekat dengan Allah SWT.

Sejatinya, kalau bukan karena izin Allah SWT, maka tidak seorang pun di antara manusia yang sanggup untuk berbuat ketaatan. Jika Allah tidak membantu kita, maka tidak seorang pun di antara kita yang sanggup untuk mendirikan salat, berpuasa, dan berzikir mengingat Allah. Apa pengaruh dari sikap ini? Dia akan memandang remeh orang lain yang ibadahnya mungkin dalam pandangan dia belum sama secara kuantitas atau pun kualitas. Bahkan dia akan memandang rendah orang-orang yang kebetulan sedang Allah uji dengan kemaksiatan.

Ujian Dalam Kemaksiatan

Bagaimana gambaran maksiat yang berpotensi menyelamatkan seseorang? Maksiat dapat menyelamatkan ketika pelaku maksiat tersebut tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT sebab kemaksiatan yang dia lakukan. Dia tetap menaruh harapan baik kepada Allah agar Allah memperbaiki dirinya di masa yang akan datang. Di sinilah penerapan ungkapan, “maksiatnya para pelaku keburukan itu adalah berputus asa dari rahmat Allah SWT”. Selama pelaku maksiat itu masih menaruh harapan baik kepada Allah, tidak berputus asa, tetapi mendorong dia untuk merasa hina di hadapan Allah lalu bertaubat kepada-Nya, maka di saat itulah kemaksiatan menjadi wasilah kebaikan bagi yang bersangkutan untuk menuju Allah SWT.

 Hal ini senada dengan kalam seorang imam sufi terkenal, Imam Ibnu Atha’illah Al-Sakandari, di dalam kitab al-Hikam-nya :

معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طاعة أورثت عزا واستكبارا

Kemaksiatan yang mewariskan sikap merasa hina dan butuh kepada Allah SWT adalah lebih baik ketimbang ketaatan yang mewariskan sikap merasa mulia dan sombong (di dalam hati).

Namun, ketika kemaksiatan menjadikan seseorang berputus asa dari rahmat Allah SWT lalu membawa dia semakin jauh dari-Nya, maka di saat itulah maksiatnya menjadi berlipat ganda karena keputus-asaannya. Sikap putus asa itu menjadi maksiat tersendiri di samping maksiat yang sudah ia lakukan sebelumnya.

Keputus-asaan bisa jadi muncul dari diri sendiri lantaran minimnya ilmu pengetahuan ataupun karena sikap orang lain yang sok suci yang memandang remeh yang bersangkutan. Padahal, Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita cara bersikap kepada pelaku maksiat. Rasulullah SAW mendoakan mereka dan menyemangati mereka agar kembali ke jalan Allah SWT.

Jangan Mendorong Pendosa Untuk Berputus Asa

Ada banyak riwayat menunjukkan sikap Rasulullah Saw. terhadap pemaksiat. Di antaranya hadis tentang sikap Nabi SAW kepada sahabat Nu’aiman, seorang sahabat yang suka mabuk-mabukan namun sangat mencintai Nabi SAW. Begitu juga dengan hadis tentang bagaimana sikap Nabi kepada pelaku maksiat yang melakukan hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadhan. Demikian juga dengan hadis tentang seseorang yang membunuh 99 nyawa, lalu menggenapkannya menjadi 100 orang sampai akhirnya ia bertaubat kepada Allah SWT. Serta sikap Nabi kepada Ma’iz ibn Malik, pelaku zina di zaman Nabi yang menyerahkan dirinya secara sukarela untuk dirajam. Namun, Nabi tidak serta merta merajamnya, tapi justru menyuruh dia kembali, berprasangka baik ia tidak benar-benar berzina.

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain terkait hal ini. Pada akhirnya, kisah-kisah itu seharusnya menyadarkan kita untuk tidak memandang rendah pelaku maksiat. Memang benar maksiat adalah sesuatu yang Allah benci dan perintahkan untuk menjauhinya, tetapi bukan berarti kita harus membenci pelakunya. Bencilah kemaksiatannya, namun tidak kepada pelakunya. Kita tidak mengetahui, bisa jadi kemaksiatan yang dilakukan oleh orang itu merupakan maksiat terakhir yang membuatnya sadar dan segera bertaubat kepada Allah SWT tanpa sepengetahuan kita. Sebaliknya, bisa saja ketaatan yang sedang kita jalankan saat ini adalah ketaatan terakhir kita, setelah itu kita terjerumus ke dalam kubangan kemaksiatan dan Allah mencabut nyawa kita sebelum sempat bertaubat kepada-Nya.Na’udzubillahi min dzalik.!

Tidak seorang pun di antara manusia yang mengetahui bagaimana akhir dari kehidupan mereka, apakah nantinya akan husnul khatimah ataukah suul khatimah selain hanya Allah SWT semata. Oleh karena itu, mari selalu mawas diri, memaksimalkan kebaikan dengan tanpa memandang dirilah yang melakukannya. Dan jangan berputus asa dari rahmat Allah SWT manakala terjatuh ke dalam jurang kemaksiatan. Karena Tuhan kita di saat berbuat taat dengan Tuhan kita ketika berbuat maksiat tetaplah Allah SWT, yang kasih sayang-Nya lebih luas dari kemarahan-Nya. Sehingga ketika seseorang sudah memahami konsep ini, maka ketaatan dan kemaksiatan baginya sama-sama berpotensi mengantarkannya kepada kebaikan. Allahu A’lam.

Share

Sign Up Newsletter

Dapatkan informasi, berita dan konten terbaru RNH hanya untuk Sahabth, di sini

Terkait

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue