Lima Fakta Unik Terkait Imam Al-Sya’rani yang Wajib Diketahui

Cetak

Imam Al-Sya’rani adalah ulama sekaligus cendikiawan muslim yang sangat berjasa dalam khazanah literatur keislaman. Walaupun beliau dikenal sebagai sufi, Imam Al-Sya’rani juga memiliki kompetensi yang sangat mumpuni di bidang akidah, fikih, dan ilmu riwayat. Sebab itu pula, beberapa karya beliau telah dan sedang menjadi pedoman kajian di RNH, di antaranya al-Anwar al-Qudsiyah, al-Minan al-Kubra, al-Minah al-Saniyyah, dan Tanbih al-Mughtarrin.

Imam Abd Al-Wahhab Al-Sya’rani -terkadang disebut juga “Al-Sya’rawi”dalam beberapa karyanya- adalah salah seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang namanya tetap harum hingga hari ini. Nasab beliau bersambung kepada Sayyidina Muhammad ibn Al-Hanafiyyah. Beliau adalah putra dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dengan istri beliau yang bernama Khaulah binti Ja’far al-Hanafiyyah. Sayyidina Muhammad ibn Al-Hanafiyyah juga saudara seayah dari Sayyidina Al-Hasan dan Al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Sayyidina Muhammad ibn Al-Hanafiyyah pernah berujar, “Hasan dan Husain lebih mulia dariku, namun aku lebih alim dari mereka berdua.

Imam Al-Sya’rani lahir pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 Hijriah di Qalqasyandah. Daerah di adalah bagian dari negara Mesir yang merupakan kampung asal kakek dari pihak ibunya. Namun, setelah berumur 40 hari, beliau dibawa dan menetap di kampung ayahnya yang bernama Saqiyah Abi Sya’rah. Tempat ini di kemudian hari menjadi nisbat namanya, al-Sya’rani. Beliau adalah seorang ulama yang menguasai banyak fan keilmuan, mulai dari Ilmu Gramatikal Arab, Ilmu Fikih, Ushul Fikih, Tafsir, Hadis, hingga Tasawuf. Hal itu terbukti dari banyaknya karya tulis beliau terkait fan-fan tersebut yang berjumlah ratusan judul. Beliau wafat pada tahun 973 Hijriah dalam usia 75 tahun.

Dalam tulisan sederhana ini, kita akan mengungkap 5 fakta unik terkait Imam al-Sya’rani, yaitu :

Pertama; Alim Besar yang Memiliki Guru Seorang Ummi (Buta Huruf)

Salah satu keunikan Imam al-Sya’rani dalam dunia spiritual adalah beliau tidak gengsi dan malu untuk berguru kepada seorang ummi (buta huruf) yang bernama Syekh Ali al-Khawwash. Sebelum berguru kepada Syekh Ali, Imam al-Sya’rani sudah menjadi alim besar yang mempunyai banyak karya dalam berbagai bidang. Biasanya ketika seseorang sudah mencapai derajat tertinggi dalam bidang akademik, maka egonya akan membuatnya gengsi untuk berguru kepada orang yang level akademiknya lebih rendah. Namun berbeda dengan Imam al-Sya’rani, beliau menanggalkan sisi-sisi kemuliannya demi untuk menimba ilmu rohani kepada Syekh Ali al-Khawwash.

Kedua; Diperintahkan Untuk Menjual Semua Karya dan Menyedekahkan Hasil Penjualannya

Saat berguru kepada Syekh ‘Ali Al-Khawwash, Imam Al-Sya’rani langsung berhadapan dengan ujian berat. Sang Syekh memerintahkan beliau untuk menjual semua karya dan kitab-kitab yang beliau miliki. Tidak hanya itu, Imam Al-Sya’rani juga harus menyedekahkan seluruh hasil penjualannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun, Imam Al-Sya’rani tidak keberatan dan beliau melakukan perintah sang guru dengan ikhlas dan senang hati. Apa tujuannya? Agar beliau tidak memandang dirinya lagi sebagai orang alim yang lebih baik dari orang lain. Syekh Ali ingin mengikis semua rasa itu dari qalbu Imam Al-Sya’rani sehingga qalbunya pantas dipandang oleh Allah SWT.

Ketiga; Disuruh Menjauh dari Manusia Di Saat Beliau Sangat Masyhur dengan Keilmuannya

Tidak hanya menjual karya-karyanya, Imam Al-Sya’rani juga disuruh untuk uzlah (mengasingkan diri dari manusia) di saat beliau sedang digandrungi banyak orang karena kealimannya. Imam Al-Sya’rani pernah berkata dalam salah satu karyanya, “Aku diperintah oleh Syekh Ali untuk mengasingkan diri dari manusia selama beberapa saat hingga waktuku hanya diisi oleh kesendirian. Akupun mematuhinya, aku mengasingkan diri dari manusia namun perasaan memandang diri lebih baik dari mereka masih tersimpan di dalam diriku. Akhirnya Syekh Ali berkata: Berjuanglah untuk menghilangkan rasa itu dari qalbumu! Aku pun bermujahadah hingga aku memandang diriku sebagai orang yang paling hina, meskipun dari orang yang paling bodoh sekalipun.

Keempat; Difitnah & Dituduh Sesat Oleh Ulama al-Azhar Mesir

Imam Al-Sya’rani juga pernah menjadi objek fitnah ulama-ulama sezaman yang iri dan dengki terhadap capaian-capaian spiritual dan intelektualnya. Akibatnya beliau dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat yang bertentangan dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut oleh mayoritas ulama al-Azhar ketika itu.

Imam Al-Sya’rani menceritakan kronologisnya dalam mukadimah karyanya Tanbih al-Mughtarrin. Saat beliau selesai menuliskan karyanya yang berjudul al-Bahr al-Maurud fi al-Mawatsiq wa al-‘Uhud dan Kasyf al-Ghummah ‘an Jami’ al-Ummah, naskah kitab tersebut disalin ulang oleh mereka yang hendak memfitnahnya. Setelah menyalin ulang naskah kitab tersebut, mereka menyisipkan ungkapan-ungkapan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Al-Qur’an dan Hadis. Padahal Imam Al-Sya’rani tidak pernah menuliskannya. Lalu mereka menyebarkan naskah palsu itu kepada ulama-ulama besar yang ada ketika itu, termasuk kepada para ulama al-Azhar, Mesir.

Banyak di antara mereka yang terpengaruh dan mulai berprasangka buruk kepada Imam Al-Sya’rani. Akhirnya Imam Al-Sya’rani memperlihatkan naskah asli yang beliau tulis kepada para ulama tersebut dan meminta mereka untuk menelaahnya secara teliti dan mendalam.

Walhasil, setelah mereka membandingkannya, terbukti bahwa naskah yang tersebar hanyalah fitnah belaka. Itu adalah naskah palsu yang sengaja dibuat oleh mereka yang iri dan dengki terhadap capaian Imam Al-Sya’rani. Beliau sebenarnya mengetahui dalang dari semua fitnah tersebut, yaitu dua orang yang beliau kenal baik dan tergolong sebagai ahli ilmu. Namun, demi menjaga nama baik keduanya dari celaan manusia akhirnya beliau tidak mengungkap identitas mereka dan memilih untuk memaafkan. Beberapa bulan setelah kejadian itu, nama beliau kembali bersih. Tuduhan-tuduhan sesat terhadap beliau juga hilang begitu saja berkat ketabahan dan kesabaran beliau dalam menerima segala ujian dan tempaan Allah SWT.

Kelima; Punya Banyak Pengalaman Rohani

Imam Al-Sya’rani juga tergolong sebagai sufi besar yang mempunyai seabrek pengalaman rohani. Kita dapat melihatnya setidaknya dalam tiga karyanya, yaitu Kitab al-Minan al-Kubra, al-Minan al-Wustha dan al-Minan al-Shughra. Beliau menuliskan pengalaman-pengalaman tersebut tidak dalam rangka menyombongkan diri ataupun memperlihatkan eksistensinya sebagai sufi besar. Namun, itu sebatas tahadduts bi al-ni’mah (menceritakan nikmat-nikmat pemberian Allah SWT) sebagai wujud syukur dan terimakasih beliau kepada Allah SWT. Hal Itu beliau tegaskan secara langsung pada mukadimah kitab-kitab tersebut.

Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah beliau tuliskan lewat kitab-kitab tersebut. Menceritakan pengalaman rohani itu tidak selamanya terlarang, sebagaimana yang selama ini dipahami secara instan oleh sebagian pengamal tasawuf. Adakalanya menceritakannya boleh jika yang bersangkutan meniatkan semua itu sebagai upaya tahadduts bi al-ni’mah. Ia juga harus yakin bahwa apa yang sedang ia sampaikan bukan dalam rangka memperlihatkan prestasi dirinya di hadapan manusia. Sebaliknya, untuk menampakkan betapa luas dan tidak terbatasnya karunia Allah SWT terhadap hamba-hamba-Nya. Allahu A’lam

Share

Sign Up Newsletter

Dapatkan informasi, berita dan konten terbaru RNH hanya untuk Sahabth, di sini

Terkait

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue