Kurang dari 24 jam lagi, kita akan memasuki Bulan Muharram tahun baru 1447H. Penanggalan Hijriah sendiri diinisiasi oleh Sayyidina Umar ibn Al-Khaththab ra. dan dimulai pada tahun hijrahnya Baginda Nabi Muhammad Saw. ke Kota Madinah. Oleh karena itu, momen tahun baru sangat identik dengan istilah hijrah- yang secara harfiah bermakna berpindah. Namun, ini tak hanya tentang hijrah fisik, tetapi hijrah ruhani.
Mengambil inspirasi dari terobosan Sayyidina Umar ra., para ulama membuat kebiasaan mengakhiri dan mengawali tahun dengan berdoa. Ada yang mengajak umat untuk berdoa bersama di suatu lokasi, ada pula yang menganjurkan berdoa di kediaman masing-masing. Ini adalah bentuk pengamalan dari sabda Nabi Muhammad Saw.:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Siapa yang memperkenalkan suatu kebiasaan yang baik kepada orang lain, lalu itu diamalkan, maka ia akan diberikan ganjaran untuk amalannya, dan ganjaran senilai amalan orang lain yang ikut mengamalkan, tanpa mengurangi pahala orang yang ikut mengamalkan itu sedikit pun (HR. Ibn Majah).
Hijrah Materi Kepada Hijrah Ruhani
Pembahasan hijrah muncul di beberapa hadis Nabi Muhammad Saw. Di antaranya menjadi hadis pertama di dalam kitab Hadis Arba’in karya Imam Al-Nawawi. Rasulullah Saw. bersabda:
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Maka, siapa yang berniat berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang berniat hijrah kepada perkara dunia yang ingin ia capai, atau perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu akan sesuai dengan niatnya (HR. Bukhari)
Imam Ibn ‘Athaillah Al-Sakandari dalam al-Hikam mengutip hadis ini dan menyampaikan hikmah:
“Janganlah engkau berjalan dari satu alam ke alam lain sehingga sebagaimana keledai penggilingan yang berputar-putar. Akhir yang dituju adalah kembali ke tempat awal melangkah. Namun, berangkatlah meninggalkan alam menuju Sang Pencipta alam. “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah akhir semua tujuan”(QS An-Najm [53]: 42).”
Dari hadis dan hikmah di atas, kita dapat memahami bahwa hijrah hakiki adalah hijrah dari sisi materi dan duniawi kepada sisi ruhani/ruhiyah, yang terhubung kepada Allah Swt. Hijrah yang dimaksud adalah berpindah kepada tujuan satu-satunya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana kalam Guru mursyid dalam silsilah Thariqah Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Khaliq Al-Gujdawani:
إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ
Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan rida-Mulah yang aku cari.
Jika memang tujuan utama adalah Allah, untuk apa Baginda Nabi Saw. mengabarkan pahala dan surga?
Pada dasarnya setiap orang mengalami proses pendewasaan, begitu pun dalam hal beribadah. Rasulullah Saw., mengabarkan berbagai balasan untuk amalan adalah untuk motivasi awal bagi para sahabat. Setelah mewiridkan amalan itu, mereka belajar ikhlas, yaitu ketulusan dalam beribadah hanya karena Allah. Ini pula lah yang Rasulullah Saw. harapkan pada umat generasi berikutnya, yaitu hijrah dari tujuan-tujuan materi kepada tujuan ruhiyah.
Sebagaimana manusia menyukai ketulusan dalam hubungan sesamanya, Allah lebih mencintai hamba yang menghambakan diri kepada-Nya dengan ketulusan, tanpa modus iming-iming pahala dan surga, maupun rasa takut akan ancaman siksa neraka. Karena pada dasarnya, rasa senang kita terhadap ketulusan dan rasa cemburu adalah curahan nama dan sifat-Nya yang berikan kepada hati hamba-hamba-Nya.
Hijrah Ruhani dalam Amaliyah Sehari-hari
Ada banyak cara mengimplmentasikan hijrah ruhani di dalam aktivitas sehari-hari. Abuya Arrazy Hasyim dalam salah satu kajian menyampaikan setidaknya ada dua amalan:
1. Hijrah dalam Ibadah Shalat
Shalat adalah surga dunia. Namun orang yang bisa merasakan surga di dalam shalatnya hanyalah mereka yang mau mengkondisikan diri sebelum mendirikan shalat. Secara lahir, mengkondisikan diri dapat berupa memperbaharui wudhu, memastikan kebersihan pakaian dan tempat shalat, hingga memakai wewangian.
Namun, ada yang lebih penting dari mengkondisikan penampilan, yaitu mengkondisikan qalbu sebelum shalat. Rasulullah Saw. telah memberi kita tuntunan mengkondisikan qalbu sebelum melaksanakan shalat wajib, yaitu dengan melaksanakan shalat sunnah rawatib sebelum melaksanakan shalat fardu, sesuai tuntunan syariat. Manusia paling sempurna, Baginda Nabi Muhammad Saw. saja -yang qalbunya senantiasa terkondisikan- melaksanakan shalat sunnah rawatib empat rakaat sebelum Shalat Zuhur. Bagaimanakah dengan kita sebagai umat beliau? Pertanyaan ini cukup untuk menegur kelalaian kita yang masih jatuh-bangun dalam mendidik qalbu.
2. Hijrah dalam Makan dan Minum
Makan dan minum adalah ibadah yang seringkali disepelekan. Sebab telah menjadi keseharian, kita boleh jadi lupa untuk mengingat Allah ketika makan. Imam Junaid al-Baghdadi memperingatkan umat mengenai makan dan minum ini. Beliau berkata:
“Berhati-hatilah dalam segala hal, walaupun makan dan minum, karena lahiriah makanan adalah nikmat (Allah), tetapi batinnya adalah ujian.”
Ujian apakah yang dimaksud oleh Imam Junaid?
Makan dan minum sejatinya adalah ujian tauhid, apakah seorang hamba meyakini objek makanan dan minuman lah yang menghilangkan lapar dan dahaganya, atau Allah Swt. Gus Rokhisullah memberikan tips untuk mengecek ketauhidan dalam makan dan minum. Caranya adalah dengan memperhatikan reflek pikiran dan qalbu saat merasa lapar atau haus. Apabila yang pertama kali muncul di pikiran adalah makanan -contoh langsung kepikiran, “makan apa ya?”- atau minuman -contoh “es teh enak kali ya”-, maka itu adalah tanda iman kita masih perlu perbaikan.
Apabila seorang hamba masih merasa makanan atau minumanlah yang menghilangkan lapar dan dahaganya, maka dari sanalah penyakit tamak akan tumbuh di dalam jiwa. Ujian tauhid dalam makan dan minum ini telah menggugurkan sebagian besar pasukan raja Thalut saat akan berperang melawan Tirani Jalut yang zalim. Sebagian mereka merasa tidak mungkin pergi berjihad dengan hanya berbekal seteguk air setampungan tangan, padahal sudah kehausan sebab perjalanan di bawah terik matahari yang sangat panjang.
Di samping itu, hendaknya rasa qalbu saat makan bukan fokus kepada objek makanan, melainkan rasa sedang dibersamai oleh nikmat Allah. Dengan demikian, makan dan minum itu tidak melalaikan, justru memberi energi lahir dan batin, baik jasad, pikiran, jiwa dan hati.
Demikianlah, hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi menghijrahkan orientasi qalbu dari tujuan materi duniawi kepada tujuan hakiki, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan dari tujuan mencari pahala kepada mencari ketenangan qalbu, tetapi dari mencari pahala kepada tujuan mencari perhatian Pemberi Pahala. Inilah yang disebut dengan hijrah ruhani.
Kita dapat mengimplementasikan hijrah ruhani di dalam berbagai aspek, di antaranya mengkondisikan qalbu sebelum shalat dan memperbaharui tauhid dalam makan dan minum. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk berhijrah menjadi hamba yang lebih baik. Aamiin.
Sumber: Kajian Muharram Abuya Arrazy Hasyim, Mutiara Hikmah Ibn ‘Athaillah. Shahih Bukhari, Sunan Ibn Majah.