Dalam proses wushul kepada hadirat Allah dan menjadi hamba terdekat-Nya, Imam Ibnu Ajibah menulis dalam kitab tafsir Al-Bahr Al-Madid bahwa setiap muslim perlu melewati empat proses kematian.
Kematian di sini bukan berupa keluarnya ruh dari tubuh, tetapi mematikan tabiat buruk sehingga keinginan ruhiyah mengambil kendali. Berikut uraiannya:
Maut Al-Ahmar (Kematian Merah)
Imam Ibnu Ajibah menjelaskan, kematian merah artinya tidak mengikuti keinginan hawa nafsu. Idealnya, hawa nafsu tidak mengambil kendali atas diri, melainkan tunduk kepada ruh yang menjadi sumber kehidupan.
Jihad menundukkan hawa nafsu adalah jihad akbar, karena ia tidak akan berakhir hingga nyawa berpisah dari badan. Dalam proses jihad menundukkan hawa nafsu, kita berusaha untuk tidak memenuhi setiap keinginannya.
Salah satu bentuk riyadhah menundukkan hawa nafsu adalah menjalani suluk atau khalwat. Selama khalwat, salik biasanya menyedikitkan makan dan tidak memakan olahan daging hewan, tidak berjalan-jalan, dan lain sebagainya.
Maut Al-Aswad (Kematian Hitam)
Maut Al-Aswad bermakna ketangguhan menjalani penderitaan. Orang-orang beriman pasti akan diuji dengan macam-macam penderitaan. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar (QS. Al-Baqarah [2]: 155).
Orang yang tengah melewati proses ini hendaknya bersikap tabah, sabar, dan tenang menghadapi cobaan dan ujian. Pada tingkat lebih lanjut, kematian hitam dapat berarti menikmati ketentuan takdir sekalipun kita tidak menyukainya, karena pada dasarnya itu semua adalah karunia dari Allah.
Rasulullah ﷺ mengajarkan saat mendapatkan kebaikan, kita mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
Segala puji bagi Allah yang menyempurnakan kebaikan dengan nikmat-Nya.
Adapun saat mendapatkan musibah kita berdoa:
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Segala puji bagi Allah pada setiap keadaan (HR. Ibnu Majah no. 3808).
Maut Al-Abyadh (Kematian Putih)
Istilah kematian putih erat hubungannya dengan berlapar-lapar. Tradisi ini banyak ditemukan di masyarakat Indonesia dengan istilah “mutih”, yang artinya berpuasa.
Berpuasa dan mengurangi makan merupakan salah satu cara ampuh melemahkan hawa nafsu, dengan harapan ruh kembali memegang kendali atas diri. Saat ruh sudah hidup, maka beribadah pun terasa lebih mudah dan nikmat.
Ulama menceritakan bahwa dahulu jiwa (nafsiyah) bertingkah angkuh di hadapan Allah. Allah kemudian menenggelamkannya di lautan kelaparan hingga seribu tahun. Setelah keluar dari lautan itu, barulah jiwa itu tunduk dan mengakui Allah sebagai Tuhan.
Imam Ibnu Ajibah juga menjelaskan, kebanyakan orang gagal menundukkan hawa nafsunya bukan karena kurang beribadah. Namun, perut yang kekenyangan membuat hawa nafsu sulit terkendali.
Maut Al-Akhdhar (Kematian Hijau)
Kematian hijau bermakna “memakai baju yang bertambalan.” Dalam hal ini, seorang salik sebaiknya mengendalikan keinginan yang berlebihan dalam berpakaian. Ia juga dapat berusaha untuk tidak selalu berpakaian bagus, dalam rangka riyadhah mengendalikan jiwanya.
Melewati empat jenis kematian maknawi di atas adalah jalan pembuka menuju hadirat Allah. Setiap salik sangat dianjurkan untuk berlatih “mematikan” tabiat-tabiat nafsu ini.
*Artikel ini disarikan dari kajian kitab Al-Bahr Al-Madid yang diampu oleh Buya Aldomi Putra. Simak kajian lengkap di sini. Ikuti akun media Ribath Nouraniyyah di facebook, instagram, youtube, dan tiktok dengan ID @nouraniyyahofficial.