Salah satu momen paling identik dengan bulan Rajab adalah peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ. Sebagian ulama berpendapat, peristiwa ini terjadi pada sepertiga malam terakhir di Bulan Rajab tahun 11 kenabian.
Melalui perjalanan Isra’ Mi’raj, Baginda Nabi Muhammad ﷺ membawa syariat agung ibadah shalat fardu lima waktu, sarana komunikasi hamba kepada Rabb Ta’ala. Kendati demikian, perjalanan Isra’ Mi’raj bukan untuk sekadar dinikmati, tetapi ada banyak pelajaran penting yang kita dapat ambil sebagai umat beliau ﷺ.
Mengikuti Prosedur
Sebuah riwayat dari Imam Bukhari menyebutkan:
ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَضَرَبَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِهَا
Kemudian Malaikat Jibril bermi’raj bersama Nabi Muhammad ﷺ ke langit dunia. Malaikat Jibril kemudian mengetuk salah satu di antara pintu-pintu langit itu.
Sebagaimana yang sudah sama-sama kita ketahui, Malaikat Jibril adalah pemimpin para malaikat yang membawa wahyu kepada para nabi. Kendati demikian, saat memasuki pintu langit paling awal sekali pun, Malaikat Jibril tetap mengikuti prosedur mengetuk pintu langit, dan memverifikasi identitasnya.
Di sisi lain, Nabi Muhammad ﷺ telah harum namanya di langit. Para malaikat beserta seluruh penduduk langit sudah mengetahui keberadaan beliau bahkan sebelum diutus sebagai rasul. Namun, Rasulullah ﷺ pun tetap harus menyebutkan nama beliau saat diperiksa di gerbang-gerbang langit.
Akhlak yang ditunjukkan Rasulullah ﷺ ini seolah menampar diri-diri yang meminta perlakuan spesial karena merasa lebih tinggi jabatan, posisi, ilmu, nasab keturunan dan lain sebagainya.
Profesionalisme
Setiap pintu langit dijaga oleh para malaikat. Mereka bertugas memverifikasi segala sesuatu yang ingin melewati tingkatan-tingkatan langit.
Dalam peristiwa Mi’raj, Sayyidina Anas Ibn Malik ra. mengisahkan:
فَنَادَاهُ أَهْلُ السَّمَاءِ مَنْ هَذَا فَقَالَ جِبْرِيلُ. قَالُوا وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مَعِي مُحَمَّدٌ. قَالَ وَقَدْ بُعِثَ قَالَ نَعَمْ. قَالُوا فَمَرْحَبًا بِهِ وَأَهْلاً. فَيَسْتَبْشِرُ بِهِ أَهْلُ السَّمَاءِ
Penjaga pintu langit berseru (kepada malaikat Jibril), “Siapakah ini?” Malaikat Jibril menjawab, “Ini adalah Jibril.” Mereka melanjutkan, “Dan siapakah yang bersamamu?”. Malaikat Jibril menjawab, “Yang bersamaku adalah Muhammad ﷺ.” Malaikat langit berkata, “Ternyata beliau telah diutus.” Jibril pun mengiyakan. Malaikat-malaikat langit kemudian berkata, “Selamat datang.” Penduduk langit pun bersuka cita dengan kedatangan beliau.
Dalam menjalankan tugasnya, malaikat penjaga langit tidak pandang bulu. Semua makhluk yang ingin melewati pintu tersebut harus lolos verifikasi sesuai prosedur yang ditetapkan, bahkan jika dia sosok yang kedudukannya lebih tinggi, seperti malaikat Jibril dan penghulu para kekasih, Sayyidina Muhammad ﷺ.
Silaturrahim
Dalam perjalanan beliau memenuhi panggilan Allah، Rasulullah ﷺ bertemu dengan para nabi yang menghuni langit. Mulai dari Nabi Adam ‘alaihissalaam hingga Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam di langit ketujuh. Perjalanan tersebut memberikan kita pelajaran tentang silaturrahim. Nabi Muhammad ﷺ mengunjungi para rasul yang telah diutus sebelum beliau.
Dalam melakukan perjalanan hendaknya kita sebagai umat beliau tidak lupa untuk meniatkan setiap perjalanan sebagai ajang silaturrahim, baik saat pergi bekerja, menuntut ilmu, berlibur, terutama berziarah ke orang yang hidup maupun makam orang yang telah wafat.
Menjadi Pendengar yang Baik
Percakapan menarik berlangsung antara Nabi Musa ‘alaihissalaam dengan Baginda Rasulullah ﷺ saat beliau turun dari sidratul muntaha dan menerima perintah shalat. Dalam riwayat disebutkan:
ثُمَّ هَبَطَ حَتَّى بَلَغَ مُوسَى فَاحْتَبَسَهُ مُوسَى فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مَاذَا عَهِدَ إِلَيْكَ رَبُّكَ قَالَ عَهِدَ إِلَىَّ خَمْسِينَ صَلاَةً كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ. قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ فَارْجِعْ فَلْيُخَفِّفْ عَنْكَ رَبُّكَ وَعَنْهُمْ.
Kemudian Nabi Muhammad ﷺ turun hingga bertemu dengan Nabi Musa yang segera menahan beliau. Nabi Musa bertanya, “Wahai Muhammad, apa yang Tuhanmu perintahkan kepadamu?” Nabi Muhammad ﷺ menjawab, “Allah memerintahkanku 50 kali shalat untuk sehari semalam. Nabi Musa kemudian berkata, “Sungguh umatmu tidak akan sanggup memikul beban tersebut. Kembalilah agar Tuhanmu meringankannya untukmu dan umatmu.
Nabi Muhammad ﷺ mendengarkan saran Nabi Musa dengan baik. Walaupun Rasulullah ﷺ tentu lebih mengerti tentang umatnya, beliau tidak serta merta memotong atau menolak saran Nabi Musa. Setelahnya, Nabi Muhammad ﷺ bahkan meminta pertimbangan malaikat Jibril dan mengikuti saran tersebut dan kembali kepada Allah Ta’ala.
Bermusyawarah
Setiap Rasul pada dasarnya adalah Syari’ (Pembuat tata cara ibadah) kepada Allah untuk umatnya. Berdasarkan wahyu dari Allah, seorang Rasul tidak membutuhkan persetujuan umatnya untuk menetapkan suatu syariat.
Dalam peristiwa Mi’raj, Nabi Musa seolah menjadi wasilah umat Nabi Muhammad ﷺ mendapatkan rukhshah (keringanan) shalat wajib menjadi lima waktu. Jika kita membaca lebih jeli, Rasulullahﷺ terlihat penuh ketawadhuan menerima saran Nabi Musa untuk meminta keringanan kepada Allah Ta’ala, juga menerima persetujuan malaikat Jibril untuk mewujudkan syarat tersebut.
Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada kita tentang pentingnya musyawarah dalam memutuskan perkara yang terkait dengan umat. Seorang pemimpin, secerdas dan sebijak apa pun, sangat disarankan untuk bermusyawarah dengan saudaranya saat ingin melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan.
Berbagi Pengalaman dan Tidak Sungkan Menyampaikan Pendapat
Nabi Musa dan para nabi telah diberitahu akan agungnya kedudukan Nabi Muhammad ﷺ. Beliau ﷺ adalah nabi pertama secara maknawi sekaligus menjadi rasul yang terakhir diutus. Walaupun Nabi Muhammad ﷺ adalah penghulu para nabi dan rasul, Nabi Musa tidak segan berbagi pengalaman menghadapi umat yang telah lebih dahulu beliau lalui.
Ibrah yang dapat kita ambil adalah, jangan menolak ilmu sekali pun dari orang yang terlihat lebih sedikit pengetahuannya. Sebaliknya, kita tidak boleh menyembunyikan ilmu yang Allah berikan dengan alasan merasa tidak pantas, atau karena orang yang mendengar lebih tinggi kedudukannya. Pada dasarnya, semua ilmu itu milik Allah, dan manusia hanyalah perantara tajalli sifat ‘Ilm-Nya.
Rasa Sungkan kepada Allah
Atas saran dari Nabi Musa dan persetujuan malaikat Jibril, Rasulullah ﷺ beberapa kali menghadap Allah dan memohonkan rukhshah ibadah shalat untuk umatnya. Rasulullah ﷺ kemudian mendapatkan keringanan ibadah shalat yang awalnya diwajibkan 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Dengan Kemurahan-Nya, Allah menetapkan nilai 5 kali shalat fardu itu sama dengan 50 kali sebagaimana kewajiban awal.
Saat bertemu kembali dengan Nabi Musa dan mengabarkan perintah ibadah yang Rasulullah ﷺ dapatkan, Nabi Musa kembali menyarankan agar beliau kembali meminta keringanan. Nabi Musa masih khawatir umat Nabi Muhammad ﷺ tidak akan sanggup menanggung kewajiban ibadah tersebut.
Rasulullah ﷺ bukannya tidak mengerti kekhawatiran Nabi Musa. Beliau juga tentu sangat menyayangi umatnya. Namun, Rasulullah merasa malu untuk meminta lagi kepada Allah Ta’ala. Beliau berkata:
يَا مُوسَى قَدْ وَاللَّهِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي مِمَّا اخْتَلَفْتُ إِلَيْهِ
Wahai Musa, Demi Allah, sungguh aku sudah sangat malu kepada Tuhanku karena terlalu sering menghadap kepada-Nya (untuk perkara ini).
Rasulullah ﷺ adalah sosok yang paling luhur akhlaknya. Keluhuran akhlak itu tidak hanya kepada manusia, tetapi lebih dahulu ditujukan kepada Allah. Gelar Habibullah bukan sekadar simbol kedekatan antara Allah dan Baginda Nabi ﷺ, melainkan mahabbah yang sarat adab, kepekaan dan kesantunan.
Membawa Oleh-oleh Sebagai Adab Kembali dari Safar
Setelah menerima perintah shalat, Rasulullah ﷺ pun kembali dan sampai di Masjidil Haram menjelang Subuh. Beliau kemudian mengabarkan peristiwa yang dialami beserta perintah shalat fardhu lima waktu.
Ibadah shalat pada dasarnya bukanlah beban syariat. Shalat adalah oleh-oleh perjalanan Isra’ Mi’raj yang maharnya adalah rasa malu Nabi ﷺ karena menghadap Allah berkali-kali memintakan rukhshah (keringanan) untuk umat beliau.
JIka boleh menganalogikan, shalat ibarat hadiah tiket ikut “open house”, tatkala Allah mengizinkan hamba-hamba-Nya untuk berada sedekat mungkin dan mengadukan apa pun kepada-Nya. Begitu sayangnya Allah kepada umat Rasulullah, Dia sediakan waktu-waktu wajib ikut “open house” dan berkomunikasi dengan-Nya.
Ibrah lainnya, tatkala bersafar, tentu ada pelajaran, pengalaman dan keunikan dari negeri yang dikunjungi. Hal-hal itu hendaknya dibawa pulang dan dibagikan kepada saudara-saudara yang ditinggalkan, baik berupa materi maupun non-materi.
Menjalin Pertemanan
Rasulullah ﷺ adalah puncak kesempurnaan makhluk. Sisi kesempurnaan beliau sebagai manusia salah satunya adalah kepiawaian beliau dalam berteman. Kita tentu tidak asing dengan istilah sahabat Nabi ﷺ, yaitu semua orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah ﷺ dan beriman kepada beliau.
Di sisi lain, gelar sahabat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang bertemu Rasulullah ﷺ merasakan suasana yang sangat bersahabat saat berjumpa dan berkomunikasi dengan beliau ﷺ, meskipun hanya lewat tatapan beliau di saat khutbah.
Dalam melalui perjalanan Isra’ Mi’raj, Rasulullah tidak sendiri. Beliau pergi bersama malaikat Jibril dan bahkan meminta pendapatnya untuk kembali menghadap Allah untuk memohon keringanan. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah menganggap malaikat Jibril sebagai teman perjalanan, bukan sekadar pembawa wahyu.