(Rabu, 19/01/2022) – Mulai hari ini, Rabu 19 Januari 2022 sampai 3 hari ke depan yaitu pada Jumat 21 Januari 2022, Buya Arrazy Hasyim didampingi oleh Tim Ribath Nouraniyyah akan melakukan Rihlah Dakwah di Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di Kota Pontianak, Menpawah, Sambas dan Singkawang. Mengawali rihlah dakwah, pada hari ini Buya Arrazy diundang memberikan dakwah dalam forum silaturrahmi Ikatan Keluarga Minang (IKM) Pontianak.
Melalui forum silaturrahmi ini terlihat bahwa Buya Arrazy adalah salah satu ulama muda Minangkabau yang tidak hanya mumpuni dalam keilmuan keislaman tetapi juga memiliki pemahaman yang sangat mendalam mengenai entitas kultural urang awak (orang minang). Hal ini tercermin dari apa yang disampaikan beliau. Beliau mengingatkan mengenai penerapan adat basandi syara’ – syara’ basandi kitabullah kepada seluruh jama’ah yang mayoritas adalah perantau Minang di Pontianak.
Bagaimana kita harus tetap berpegang teguh kepada kitab (ajaran keislaman) yang di dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “adat nan sabana adat”, tetapi kita boleh fleksibel (tidak terlalu kaku) untuk hal-hal yang menjadi kebiasaan (adat istiadat). Beliau menekankan pentingnya mengurangi primordialisme untuk menjaga keharmonisan dan keselarasan terutama bagi perantau-perantau Minang yang dalam kesehariannya berbaur dengan masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam.
“Saya berharap kepada seluruh tetua dan bundo kanduang jangan membawa ke-saklek-an adat kemanapun, kita manusia diciptakan Allah sangat elastis, adaptif, mudah beradaptasi makanya didalam surat Al-Hujarat kalimatnya “litaárafu” agar kamu mudah saling kenal, saling adaptasi saling mengambil tradisi”
Buya Arrazy
Beliau juga menceritakan pengalaman beliau ketika aktif di komunitas-komunitas kedaerahan, termasuk ketika mengadakan kajian khusus untuk orang Minangkabau di Ciputat yang diikuti oleh Datuak, Tuan, Wan, Sidi (panggilan-panggilan di Minangkabau) yang menandakan di dalam Minangkabau sendiri masih terdapat keberagaman (berbagai suku) dan dapat disatukan ketika mengaji dan berbicara terkait syara’.
Syara’ adalah ajaran yang diturunkan oleh Allah swt dalam agama. Beliau mengingatkan jangan sampai adat menjadi masalah dalam beragama atau sebaliknya, perlu untuk berhati-hati agar orang-orang yang sedang mencari jati diri dalam beragama jangan sampai tasyaddud (agak ketat), sehingga masuk ke dalam pemahaman yang dapat menghancurkan adat dan menghancurkan persaudaraan. Bertolak belakang dengan hal tersebut, syara’ harusnya dapat menjadi penyatu bagi keberagaman adat dan suku. Hal ini sejalan dengan falsafah Minangkabau “dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang” dimana kita berada, ikuti hukum dan tradisinya.
Adat, yaitu kebiasaan atau prilaku yang dilakukan berulang-ulang yang bisa saja baik atau buruk. Beliau menyampaikan ketika dihadapkan pada tradisi yang terasa menyulitkan maka perlu diringankan seperti yang disampaikan Nabi saw. Yassiru wala tuássiru, permudahlah jangan dipersulit, tetapi beliau juga mewanti-wanti “mempermudah” disini juga jangan sampai menggampangkan atau meremehkan. Hal penting lain yang menjadi poin dari dakwah ini adalah beliau menyampaikan terkait dengan perlunya membedakan antara Agama dan ber-agama. Agama suci dari Allah, sementara beragama adalah cara memahami, cara mengamalkan agama yang bisa saja bisa benar dan bisa saja salah.
Apa yang beliau sampaikan pada forum silaturrahmi IKM Pontianak ini sebenarnya tidak terbatas untuk para perantau Minang saja tetapi juga berlaku untuk semua pendengar dari berbagai suku/kelompok/etnis lainnya. Bagaimana kita tidak menjadikan kesukuan menjadi sesuatu yang kaku ataupun beranggapan bahwa suku yang kita miliki lebih baik dari suku lainnya. Kita adalah satu, beliau mengistilahkan dengan adanya suku besar yaitu kesatuan kita sebagai bangsa yang terdiri dari suku suku-suku kecil seperti Minangkabau, Jawa, Madura dsb.
Beliau juga mengajak untuk mensupport Buya, Kyai-Kyai walaupun berasal dari suku-suku yang berbeda-beda. Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa ada suku zhohir dan suku bathin, suku zhohir sebagai sesama manusia, dan suku bathin sebagai sesama hamba Allah. Allah sudah membuat peraturan adat abadi yaitu innamal mu’minuuna ikhwah sesungguhnya yang benar-benar merasa bersaudara adalah orang-orang yang percaya kepada Allah, mau sukunya berbeda kalau pemahamannya sudah sama, kepercayaannya sudah sama kepada Allah maka mereka adalah bersaudara.
Komunitas pengajian yang didasari atas rasa percaya kepada Allah akan lebih kokoh dan kuat dari komunitas suku. Dan komunitas suku akan hancur kalau salah pemahaman dalam beragama. Sebagai penutup dakwah, beliau menegaskan kembali untuk berhati-hati dengan kekeliruan pemahaman beragama yang dapat memecah belah suku dan persaudaraan. Terakhir beliau menyampaikan kembali satu clue penting yang menjadi kunci adalah innamal mu’minuuna ikhwah (sesungguhnya yang bersaudara hanyalah orang beriman). Wallahu a’lam [team]