Salah satu ibadah utama yang sangat lekat dengan puasa bulan Ramadhan adalah menghidupkan malam (qiyam Ramadhan) dengan ibadah-ibadah utama.
Kelekatan puasa dengan qiyam al-lail terlihat dalam kesamaan sabda Rasulullah ﷺ berikut:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan iman dan pengharapan, maka akan diampuni baginya dosa-dosa yang telah berlalu (HR. Muslim no. 759).
وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan pengharapan kepada Allah, maka akan diampuni baginya dosa-dosa yang telah berlalu (HR. Bukhari no. 1901).
Selain limpahan ampunan, motivasi utama qiyam Ramadhan, terutama di sepuluh malam terakhir adalah hadiah lailatul qadar yang nilai kebaikannya lebih dari 1000 bulan.
Para sahabat, ulama dan orang-orang shaleh menyadari keutamaan-keutamaan ini dan berusaha menghidupkan malam Ramadhan semaksimal mungkin. Para ahli sejarah mencatat kebiasaan mulia ini dalam karya-karya mereka.

Kebiasaan Qiyam Ramadhan di Zaman Sahabat
Yang paling masyhur di antaranya berasal dari Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau pernah meminta Sahabat Ubay bin Kaab ra. dan Tamim Ad Dari ra. untuk mengimami kaum muslimin dalam shalat tarawih.
Dalam shalat tersebut, mereka membaca dua ratus ayat di tiap rakaat. Mereka shalat hingga bertumpu pada tongkat dan baru pulang menjelang waktu fajar karena panjangnya shalat tarawih di masa itu.
Riwayat lain menyebutkan bahwa mereka sampai berpegangan pada tali-tali yang diikat di masjid saat shalat, karena tingginya semangat mereka beribadah.
Untuk menyiasati waktu dan kemampuan jamaah, Khalifah Umar biasanya membagi shalat tarawih untuk 3 imam. Imam yang membaca Al-Qur’an dengan cepat akan mengimami shalat dengan bacaan 30 ayat per rakaat. Lalu imam dengan kebiasaan membaca menengah mengimami dengan membaca 25 ayat per rakaat, sedangkan imam yang membaca tartil dan pelan memimpin dengan bacaan 20 ayat per rakaatnya.
Kebiasaan Qiyam Ramadhan di Zaman Tabiin dan Setelahnya
Di zaman Tabiin, umat Islam pernah mengkhatamkan surat Al-Baqarah (kurang lebih 2,5 juz) dalam delapan rakaat shalat. Di lain waktu, mereka menyelesaikannya dalam dua belas rakaat shalat untuk meringankan makmum.
Namun demikian, panjang pendeknya bacaan shalat tarawih tetap memperhatikan kondisi makmum. Imam Ahmad bin Hanbal suatu kali pergi shalat tarawih berjamaah. Beliau kemudian berkata, “Sungguh para jamaah ini adalah orang-orang yang lemah, maka bacalah lima, enam, atau tujuh ayat.”
Beliau kemudian memimpin shalat tarawih dengan menyelesaikan 27 ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan Imam Ahmad sebagai imam mempertimbangkan kondisi makmum dalam shalat tarawih berjamaah agar tidak menyulitkan mereka.
Adapun saat melaksanakan shalat tarawih secara munfarid (shalat sendiri), para ulama dan orang-orang shaleh terdahulu berusaha maksimal memperbanyak bacaan Al-Qur’an mereka.
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali mengabarkan bahwa mereka terbiasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga malam dalam Qiyam Ramadhan. Imam Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. Orang-orang shaleh lainnya mengkhatamkan Al-Qur’an setiap sepuluh hari, seperti Syekh Abu Raja’ Al ‘Athari.
Sumber: Lathaif Al-Maarif; Ibnu Rajab Al-Hanbali.