Hikmah Adanya Hijab Kegelapan dan Cahaya

Oleh Rizki Dalina

Cetak

Manusia dianugerahi banyak lembaga atau perangkat di dalam dirinya, salah satunya adalah nafsiyah, yaitu ego dan kedirian. Sebelum diadakan dalam bentuk zahir ke dunia, nafsiyah telah dimasukkan ke dalam bi’r al-dzulumat atau sumur kegelapan.

Frekuensi dan dalamnya seorang hamba jatuh ke dalam kemaksiatan bisa jadi merupakan gambaran seberapa jauh nafsiyah-nya ditenggelamkan di bi’r al-dzulumat ini. Artinya, semua kemaksiatan yang dilakukan di dunia dalam sunnatullah-Nya adalah tampilan dari dalamnya kegelapan ‘merasuki’ nafsiyah. Semua jenis maksiat termasuk di dalamnya, baik dengan inisiatif diri sendiri maupun terbawa arus pergaulan, pemikiran, doktrin, baik lahir maupun batin, baik samar maupun terang-terangan. Semuanya mengambil porsi dalam menghijab hamba dari Sang Khaliq.

Hijab kegelapan dalam nafsiyah

Hijab adalah penutup, tabir, dan pembatas sementara seorang hamba kepada Rabb-Nya. Maksiat dikategorikan sebagai hijab kegelapan. Bagaimana hijab ini dapat tersingkap satu persatu, sedang hamba tak mungkin terlepas dari melakukan maksiat yang terus menerus menghijab?

Kabar gembiranya, Allah mengkalamkan dalam Al-Qur’an bahwa musuh yang nyata hanyalah setan. Kalam-Nya ini merupakan angin segar untuk seluruh umat Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wasallam. Sedalam dan sesering apa pun terjatuh dalam kemaksiatan, baik yang serupa maupun berbeda, selalu ada peluang untuk menundukkan dan mendidik nafsiyah agar bergerak dari tabiat kemanusiaan kepada keruhanian.

Probabilitas keberhasilan mendidik nafsiyah ini tentu berbanding lurus dengan mujahadah (kesungguhan usaha) dan riyadhah (latihan berulang-ulang) masing-masing hamba yang merupakan ikhtiarnya untuk menempa nafsiyah. Tempaan tersebut dapat berupa kurikulum thariqah atau ujian praktik kehidupan sehari-hari sebagai sunnatullah.

Bukan Dia, tapi hambalah yang terhijab

Benarlah para ahli sufi mengistilahkannya sebagai hijab kegelapan, karena sejatinya bukanlah Allah yang terhijab, melainkan hambalah yang terhijab dari-Nya. Bila hijab itu dinisbatkan kepada Allah, maka si hamba tidak akan pernah mampu untuk mengenal-Nya.

Beruntunglah kita karena Allah tidak menghijab Dirinya, dan Maha Suci Allah atas itu. Ini merupakan kabar baik bagi hamba bahwa sesulit apa pun perjalanannya, Allah akan membukakan tabir itu bagi-Nya meski dengan upaya tertatih. Hijab yang bersifat haadits juga meniscayakan kesementaraannya. Sehingga sewaktu-waktu, dengan Rahmaniyyah-Nya Allah yang akan membuka hijab kegelapan itu dan menjinakkan nafsiyah hamba-Nya.

Tanpa hijab, hamba akan tersilaukan dari sisi kehambaannya yang tidak sempurna, yang justru akan membahayakan dirinya. Di sisi lain, keberadaan hijab kegelapan ini merupakan wasilah bagi seorang hamba agar mau menempa dirinya agar beranjak dari maksiat menuju taat dan kepatuhan. Dengan Rahmat dan Jamaliyah-Nya, Allah memberitahu hamba salah dan khilafnya agar ia dapat memperbaikinya.

Namun, ketika seorang hamba disingkapkan kegelapan dirinya, belum tentu si hamba mampu menahan ahwal kasyaf (penyingkapan) tersebut saking beratnya. Bahkan, ketersingkapan itu bisa jadi membuatnya putus asa hingga membunuh dirinya, na’udzu Billah. Sebegitu dahsyat efek buruk dari disingkapkannya mata batin hamba untuk melihat kegelapan dirinya sendiri.

Kita sudah seharusnya bersyukur karena dengan Rahmatnya, Allah tidak menampakkan kegelapan nafsiyah kita. Para ahli sufi sudah tepat mengistilahkannya sebagai hijab kegelapan, karena keburukan nafsiyah itu ditutupi bahkan dari diri hamba sebab efeknya cenderung menzalimi hamba tersebut.

Begitupun dengan hijab cahaya, seorang hamba belumlah tentu mampu menahan ahwal bila disingkapkan cahaya itu. Misalnya, ketika ia diberi tahu hakikat dari setiap gerak ibadah yang dijalankannya.

Nafsiyah yang tunduk kepada ruhani

Apabila dikaji lebih lanjut, titik temu nafsiyah dengan ruhani adalah nafs muthmainnah, yang mana dalam tingkatan ini, nafsiyah tersebut mulai terdidik dan tenang.

Nafsiyah dan ruhani mungkin dapat diumpamakan sebagai “kembaran”. Karena nafsiyah masih dapat diarahkan dan ditempa agar mengikuti gerak ruhani. Nafsiyah masih memiliki potensi untuk dijinakkan, bukan sesuatu yang ditetapkan sebagai musuh yang nyata, yang akan terus membelakangi gerak ruhani. Ini merupakan kabar baik untuk seluruh salik.

Baik dalam taat maupun maksiat, keduanya memiliki hikmah masing-masing, yaitu sebagai pengalihan agar Sang Hamba tidak memandang langsung kegelapan yang mengerikan itu, begitupun cahaya silau yang dapat membutakannya.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ditulis ulang dari mudzakarah bersama Buya Ashfi Bagindo Pakiah.

Mau berkontribusi ?

Apa saja bentuk karya yang bisa dikirimkan?

Sahabath bisa berkontribusi dengan mengirimkan tulisan berupa: artikel, ringkasan kajian, puisi atau lainnya (mengikuti konfirmasi lanjutan dari redaksi)

  1. Kontributor mengirimkan karya dalam bentuk Microsoft Word / Link Google Doc (pastikan link dapat dibuka) ke email maktabah.nouraniyyah@gmail.com atau no. whatsapp 089508082256
  2. Kontirbutor menyertakan data berikut:
    – Nama kontributor
    – Alamat
    – kontak
  3. Kontirbutor mendapat konfirmasi jika karya diterbitkan

Bagikan

Sign Up Newsletter

Dapatkan informasi, berita dan konten terbaru RNH hanya untuk Sahabth, di sini

Terkait

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue