Bagaimana Mungkin Seorang Wali Melakukan Dosa Besar?

Cetak

 Suatu kali Imam Al-Junaid Al-Baghdadi (W. 297 H) atau yang masyhur dengan julukan Sayyid al-Thaifah (Pemimpin Para Sufi) pernah ditanya: ”Apakah mungkin seorang yang ‘arif billah (orang yang kenal dengan Allah SWT atau yang lazim disebut sebagai waliyullah) berzina?” Lantas beliau menjawab, “Semua urusan Allah SWT adalah takdir yang sudah Ia tetapkan.”

Artinya, hal tersebut mungkin saja terjadi dan itu semua adalah bagian dari ketetapan Allah SWT. Kutipan tersebut penulis nukil dari Kitab al-Bahr al-Madid Fi Tafsir al-Qur’an al-Majid karya Imam Ibn ‘Ajibah (W. 1224 H) ketika beliau menafsirkan Q.S. al-Baqarah ayat yang ke-100.

Mungkin sebagian dari pembaca bertanya-tanya di dalam hati, “Bagaimana mungkin seorang yang dekat dengan Allah SWT atau wali al-‘arif billah melakukan dosa besar, apalagi berzina?”. Sebuah perbuatan bejat yang biasanya dilakukan oleh mereka yang jauh dari Allah SWT dan tidak akrab dengan Rasulullah SAW. Perbuatan orang yang tidak kenal agama dan menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan. Di dalam pikiran kita, seorang wali atau al-‘arif billah itu adalah orang suci yang tidak mungkin berbuat dosa, apalagi dosa besar seperti zina dan lain-lain.

Seringkali dalam memahami ajaran agama ini -khususnya Ilmu Tasawuf-, sebagian besar kita mendahulukan rasio atau persepsi yang muncul di alam pikiran ketimbang ilmu pengetahuan yang bersumber dari para ulama yang ahli di bidangnya, termasuk dalam mempersepsikan seorang wali. Tidak diragukan bahwa wali adalah orang yang sangat kenal dengan Allah SWT dan sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Namun, perlu digarisbawahi bahwa mereka bukanlah seorang nabi yang bersifat ma’shum (terbebas dari segala dosa dan kesalahan). Sehingga mereka mungkin saja melakukan dosa dan kesalahan, termasuk dosa-dosa besar seperti zina, minum-minuman keras dan sejenisnya.

Empat Dosa yang Tidak Dilakukan Wali Allah

Lebih jauh, Imam Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (W. 638 H) dalam salah satu karyanya yang berjudul al-Inbah ‘Ala Thariqillah menjelaskan bahwa semua dosa-dosa kecil dan besar mungkin saja terjadi pada seorang salik (pejuang rohani), para ulama muhaqqiqun (yang ilmunya sangat mendalam) dan termasuk pada orang-orang yang ‘arif billah sekalipun. Namun, beliau mengecualikan empat dosa yang tidak mungkin mereka lakukan, yaitu:

  1. berbohong sekalipun untuk kebaikan
  2. berkhianat sekalipun untuk tujuan-tujuan yang masih bisa ditakwil
  3. mengingkari janji sekalipun dalam kondisi yang sulit
  4. riya sekalipun hanya dalam bentuk niatan.

Imam Ibn ‘Arabi juga bercerita, ”Aku pernah berguru kepada seorang syekh, namun aku mendengar dia berbohong dalam perkataannya, maka ia pun segera lenyap dalam pandanganku. Di waktu yang berbeda, aku juga pernah berguru kepada seorang syekh yang lain. Suatu ketika, aku mendapatinya sedang meminum khamar (mabuk), namun ia tetap berada dalam pandanganku (hormatku tidak hilang kepadanya). Aku pun segera mendoakan kebaikan untuknya (dan terus berguru kepadanya). Namun, perlu digarisbawahi bahwa batasan empat dosa yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang wali ini adalah masalah khilafiyyah di kalangan ulama sufi. Sebagian ulama menambahkannya dan sebagian yang lain ada yang menguranginya.

Sikap Murid Tatkala Melihat Guru Rohani Bermaksiat

Sebuah kisah unik dan menarik juga pernah diceritakan oleh Imam Ibn ‘Ajibah dalam tafsirnya, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid. Suatu kali, ada seorang murid berguru kepada seorang syekh mursyid yang berada di daerahnya. Tanpa sengaja, sang murid melihat dan memergoki gurunya sedang berzina dengan seorang perempuan yang tidak ia kenal dan sang guru mengetahui hal tersebut. Namun, sang murid berpura-pura tidak melihatnya dan tidak mengubah sikap sama sekali kepada sang guru. Dia tetap berkhidmah kepada sang guru sebagaimana biasanya.

Karena merasa heran, akhirnya sang guru bertanya kepada muridnya tersebut. “Wahai muridku, aku tahu kalau engkau melihat aku berbuat yang tidak baik dengan seorang perempuan dan aku sebenarnya menunggu waktu kapan engkau akan berpaling dan pergi menjauh dariku.”

Lalu sang murid menjawab, “Wahai guru, setiap manusia berada dalam lingkaran takdir Tuhan. Sejak aku memutuskan untuk berguru kepadamu, aku meyakini bahwa engkau bukanlah seorang yang bersifat ma’shum. Hanya saja aku berguru kepadamu karena meyakini bahwa engkau adalah orang yang ‘arif (kenal) dengan Allah SWT, tahu betul dengan cara-cara kembali kepada Allah SWT. Sedangkan maksiat yang engkau lakukan itu merupakan urusan pribadimu dengan Allah SWT, bukan urusanku (sebagai murid yang mengharap madad darimu).”

Mendengarkan jawaban sang murid, sang guru merasa takjub dan mendoakan kebaikan untuknya. Waktu pun berlalu, berkah ketulusan niat berguru dan mengenal Allah SWT berbuah manis. Sikap sang murid yang tidak berubah sama sekali dalam memuliakan gurunya itu membuat Allah SWT menganugerahinya ahwal-ahwal yang baik serta maqam-maqam yang tinggi di sisi-Nya. Itulah sekelumit cerita yang menunjukkan bagaimana seorang murid yang shadiq (yang benar dalam niat bergurunya) menjalani proses tarbiyah dari guru rohaninya. Meskipun gurunya terang-terangan melakukan dosa besar, hal itu tidak mengubah sedikitpun persepsi sang murid terhadap ketinggian maqam sang guru.

Wali itu Mahfuzh, Nabi itu Ma’shum

Sebagai kesimpulan, seorang wali bukanlah nabi yang bersifat ma’shum. Mereka merupakan kekasih-kekasih Allah SWT yang bersifat mahfuzh atau dijaga Allah SWT secara rohani. Artinya, meskipun mereka berkemungkinan untuk terjatuh ke dalam lembah kemaksiatan, Allah SWT akan segera menarik dan menuntunnya untuk kembali pulang dan bertaubat kepada-Nya. Hal ini berbeda dengan manusia yang bukan wali, di mana ketika ia terjebak maksiat, maka ia akan berputus asa dari rahmat Allah SWT. Parahnya lagi, akhirnya dia memutuskan untuk menjauhkan diri dari Allah SWT sejauh-jauhnya. Na’udzubillahi min dzalik!

Perihal mereka sama seperti halnya para Ahlu Badar, yaitu sahabat-sahabat Nabi SAW yang ikut dalam perperangan Badar pada tahun ke-2 Hijriah. Allah SWT telah mengampuni semua dosa-dosa mereka, baik yang sudah berlalu ataupun dosa-dosa yang akan mereka perbuat setelah itu. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis shahih riwayat Imam Al-Bukhari yang bersumber dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Rasulullah SAW menghikayatkan firman Allah SWT terkait status Ahl Badr, “Wahai Ahl Badr, perbuatlah apapun yang kalian kehendaki, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni semua dosa-dosa kalian!”. Walhasil, sekali seseorang menjadi kekasih Allah SWT, maka selama-lamanya ia akan tetap menjadi kekasih Allah SWT.

Share

Sign Up Newsletter

Dapatkan informasi, berita dan konten terbaru RNH hanya untuk Sahabth, di sini

Terkait

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue