Langkah-Langkah yang Tak Terlihat

Karena yang paling jauh itu bukan perjalanan, tapi niat yang tak sampai

Angin Subuh di Pinggir Masjid

Azka menatap jam tangan digitalnya yang sudah retak di sisi kanan. Subuh baru saja selesai, dan ia masih duduk di tangga masjid kecil dekat kontrakan. Angin pagi berembus pelan, membawa bau tanah basah dan suara sapaan dari ibu-ibu yang baru pulang dari pasar.

“Ngapain melamun, Ka?” tanya Hafiz, temannya yang lebih dulu mengenakan sepatu.

“Nggak, cuma kepikiran soal hidup aja,” jawab Azka sambil nyengir tipis. “Pernah nggak lo ngerasa… seolah hidup lo biasa-biasa aja, tapi dalam hati lo tuh ngerasa kayak lagi dikejar sesuatu?”

Hafiz tertawa kecil. “Gue tiap hari ngerasa gitu. Tapi belakangan, gue mikir… mungkin bukan hidup yang ngejar kita. Kita aja yang lari, tapi nggak tau arah.”

Azka mengangguk pelan. Ia belum tahu, pagi itu adalah awal dari perjalanan sunyi yang akan mengubahnya.

Suara yang Memanggil dari Dalam

Malam itu, Azka tak sengaja mendengar potongan ceramah dari YouTube yang diputar Hafiz. Tentang satu hal: ujub.

“Kadang kita udah capek-capek ibadah, tapi malah jadi bangga dan ngerasa diri paling benar. Padahal, itu bisa jadi penyakit hati paling halus tapi berbahaya,” suara ustaz itu pelan, tapi menghunjam.

Azka menatap langit-langit kamarnya.

“Apa iya… selama ini gue ibadah bukan buat Allah, tapi buat ngerasa diri lebih baik dari orang lain?”

Pertanyaan itu nggak hilang sampai pagi. Ia mulai melihat ulang tiap tindakannya. Dzikirnya. Bacaan Qur’annya. Bahkan doanya.

Dan untuk pertama kalinya, Azka merasa… kosong.

Jejak Langkah yang Menghilang

Beberapa hari kemudian, Azka memutuskan untuk menyendiri sejenak. Ia izin dari kerja sambilan, mematikan ponsel, dan pergi ke rumah kakeknya di desa.

“Ka, manusia itu kadang jatuh bukan karena dosa besar. Tapi karena dia terlalu bangga nggak pernah jatuh,” kata sang kakek di sela-sela sore, sambil memetik daun kelor untuk jamu.

Azka merenung. Di dunia yang penuh pembuktian ini, ia tumbuh ingin selalu ‘menjadi’. Tapi di sini, ia belajar ‘melepaskan’. Bahwa bukan siapa yang paling banyak amalnya yang menang, tapi siapa yang tetap merasa butuh Allah meski dalam ibadah yang sederhana.

Dan pelan-pelan… Azka mulai menapak ulang. Dengan hati yang lebih rendah.

Cermin di Tengah Kegelapan

Azka pulang ke kota dengan semangat baru. Tapi ujian datang dengan cepat.

Di satu majelis, ia mendengar seseorang bercerita tentang amalnya, lalu menyindir orang-orang yang jarang ikut kajian. Dalam hati, Azka tersenyum sinis.

“Lihat tuh, kayak nggak sadar kalau ucapannya sendiri mengandung ujub.”

Namun sesaat kemudian, hatinya seperti disentil.

“Kamu barusan juga merasa lebih baik darinya, Azka.”

Ia terdiam.

Ujub bukan cuma soal bangga dengan amal. Tapi juga bangga karena merasa lebih bersih dari orang yang ujub.

Dan cermin itu… tidak pernah pecah.

Saat Hati Belajar Merunduk

Suatu malam, Azka bangun tanpa alarm. Ia duduk, menyalakan lampu kecil, lalu menangis.

“Ya Allah… aku capek jadi manusia yang sibuk kelihatan baik.”

Untuk pertama kalinya, ia tidak meminta rezeki, jodoh, atau ketenangan. Ia hanya minta satu hal: jaga hatinya dari dirinya sendiri.

Dan di situ, Azka paham. Bahwa terkadang, dosa tidak harus datang dari maksiat terang-terangan. Ia bisa bersembunyi di balik niat baik yang tak jujur, di balik amal yang dipamerkan, atau di balik senyum yang menyimpan rasa ingin dipuji.

Tapi Allah… selalu tahu.

Hikmah yang bisa diambil

Hikmah

Cerpen ini bersumber dari salah satu kajian di RNH.

Kalau Sahabath tertarik untuk mengikuti lebih lanjut, bisa tonton video di bawah ini

Join our newsletter and get 20% discount
Promotion nulla vitae elit libero a pharetra augue