Kemenangan yang Tak Pernah Diucapkan
Hujan rintik turun di desa kecil bernama Lempana. Di balik mushola tua yang masih berdinding kayu, tinggal seorang pemuda bernama Galib. Ia bukan ustadz, bukan pula santri unggulan. Tapi bagi masyarakat sekitar, Galib dikenal sebagai anak muda yang baik, rajin sholat, dan tidak neko-neko.
Suatu hari, ia melihat tetangganya—Pak Harun—ditangkap karena kasus korupsi dana desa. Reaksi masyarakat terbagi: ada yang geram, ada yang sedih, ada yang diam. Tapi di hati Galib, muncul satu rasa yang tak pernah diucapkan:
“Alhamdulillah bukan saya. Untung saya nggak pernah main kotor.”
Ia tak menyadari, perasaan itu adalah benih. Bukan benih syukur. Tapi benih bangga tersembunyi. Diam-diam, Galib menyimpan kemenangan dari jatuhnya orang lain.
Puji yang Tidak Terdengar Tapi Menumbuhkan
Beberapa minggu kemudian, Galib diminta menjadi pembaca doa di acara desa. Usai acara, beberapa orang memujinya. Katanya, suaranya khidmat, nadanya pas. Galib menjawab, “Alhamdulillah, hanya latihan sedikit.”
Tapi malam harinya, saat menyisir rambut di depan kaca, ia berkata dalam hati:
“Mungkin aku memang punya bakat. Sudah selayaknya dipercaya.”
Ia tak sadar, bahwa penyakit itu tak butuh panggung. Ia tumbuh di dalam batin, menyelinap lewat pujian, bahkan lewat ucapan “Alhamdulillah”.
Bukan karena kata itu salah, tapi karena hatinya diam-diam menyisipkan kata “aku” di dalamnya.
Amal yang Membuatnya Terpisah
Merasa perlu berhati-hati, Galib memutuskan untuk tidak lagi tampil. Ia menolak ajakan ceramah kecil. Ia berzikir sendiri. Bahkan sholatnya mulai ia lakukan di rumah, agar tak terlihat. Ia pikir, itu lebih selamat.
Namun… justru di situlah bisikan baru muncul:
“Lihat, kamu lebih tulus dari mereka. Yang lain butuh penonton. Kamu cukup Allah.”
Galib merasa bangga karena tidak terlihat. Bangga karena menyembunyikan. Dan ia kembali jatuh… ke dalam rasa yang dulu ingin ia hindari.
Pada malam itu, Galib menulis di kertas:
“Aku belum bebas dari diriku sendiri. Bahkan saat aku berusaha tak dilihat manusia, aku masih ingin dilihat Allah dengan cara tertentu.”
Ketika ‘Aku’ Diselipkan ke Dalam Nama Allah
Dalam satu kesempatan, Galib bertanya pada seorang tua bijak di masjid: “Kalau saya berkata, semua ini karena Allah, apakah itu sudah aman dari ujub?”
Orang tua itu menjawab perlahan:
“Kalau kamu masih merasa punya peran, meski hanya 10%, itu masih ‘aku’. Dan selama ‘aku’ ada, bahaya selalu mengintai.”
“Bahkan bilang ‘karena Allah izinkan aku’, itu bisa menjadi bungkus ujub… jika kamu masih merasa punya andil.”
Galib membisu. Ia teringat setiap doa, setiap pujian yang ia terima, setiap kalimat rendah hati yang ternyata masih memuat dirinya sendiri.
Tidak Lagi Menyebut Diri
Suatu malam, di tengah hujan deras, Galib duduk di depan sajadahnya. Ia tidak sedang membaca wirid. Tidak pula berdoa panjang. Hanya terdiam. Hatinya kosong, tapi lapang.
Ia tidak lagi ingin terlihat baik. Tidak juga ingin merasa sedang menyembunyikan kebaikan. Ia hanya ingin satu hal:
“Ya Allah… jangan izinkan aku merasa punya bagian. Bahkan dalam taubatku sekalipun.”
Ia menunduk. Menangis. Bukan karena beban. Tapi karena akhirnya, ia merasa ringan. Untuk pertama kalinya, tidak ada “aku” dalam sujudnya.